Kisah Penyintas Melawan Belenggu Bipolar yang Membunuh
BERITA UNIK

Kisah Penyintas Melawan Belenggu Bipolar yang Membunuh

PinoQQLounge– Kisah Penyintas Melawan Belenggu Bipolar yang Membunuh “Mungkin sudah sedari kecil gejala ini saya rasakan, bahkan saat SMP saya sempat minum obat pembasmi serangga, karakter saya yang impulsif, membuat saya bisa nangis tiba-tiba, itu tidak wajar, tapi saya anggap itu biasa saja”

Pengakuan tersebut membuka percakapan saya dengan pria berusia 32 tahun bernama Ithong. Ia perantau asal Yogyakarta yang menderita gangguan kesehatan mental sejak terdiagnosa klinis pada 2018

Ithong mengaku awalnya abai dengan segala hal yang begejolak di dalam jiwanya. Namun, semua keganjilan tersebut mulai terasa sejak tiga tahun belakangan, setelah ia hijrah ke Bali pada awal 2017.

“Di tahun 2017 saya pindah ke Bali, setahun di Bali saya mulai semuanya. Tapi di 2016 saya sempat di Jakarta dulu dan ikut giat-giat meditasi untuk ‘pelarian’ karena waktu itu saya belum mendiagnosa diri saya secara kinis, apakah saya benar-benar mengalami gangguan tersebut atau tidak,” tutur Ithong saat bertemu Tim Liputan6.com di Jakarta Selatan, 16 Desember 2019.

Bali menjadi titik balik emosi Ithong yang tak terkendali. Secara fisik, Ithong terlihat sehat. Namun di balik itu, dia mengaku sering menangis tanpa sebab, dan meluapkan emosi di lingkungan kerjanya. Ithong pun mengaku sempat berkonflik dengan atasannya, orang Australia, saat bekerja di sebuah e-commerce.

“Hidup saya chaos dan depresif. Lalu saya keluar dari e-commerce itu. Padahal saya merasa memang tak sepenuhnya salah mereka,” tutur pria berambut klimis itu.

Tidak memiliki banyak kawan di Bali membuat hidup Ithong luntang-lantung. Di tengah kerasnya beban ekonomi, Ithong mengaku hampir bekerja di sebuah lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang bergerak di lingkup asuh anak. Setelah melewati seleksi ketat, dia diterima dan dipercaya mengemban jabatan sebagai bapak asrama.

Kisah Penyintas Melawan Belenggu Bipolar yang Membunuh

Infografis Penderita Skizofrenia Meningkat di Indonesia. (Liputan6.com/Triyasni)

Namun belum sempat dia menjalankan tugasnya, Ithong mengaku menyerah. Sebabnya, dia merasakan ada ketakutan dan kecemasan yang luar biasa yang entah dari mana muncul dalam pikirannya.

“Tiba-tiba saya tidak percaya diri ..saya merasa diberi amanat besar, sementara saya merasa belum mampu.  Ada ketakutan, kecemasan dan seperti merasa bakal kehilangan kebebasan atas diri saya sendiri, saya tidak akan merdeka atas diri saya sendiri,” cemas Ithong saat itu.

Tekanan hidup dan pekerjaan belum habis mendera Ithong. Depresi terbesar terjadi saat dirinya merasa semakin dijauhi oleh teman-teman dekatnya. Ithong merasa curahan hatinya tidak lagi diterima, dia merasa para sahabatnya sudah lelah dan malah menyalahkan Ithong atas kecemasan berlebih yang menurut mereka hanya berputar di alam bawah sadarnya.

Oh mungkin ini karena orbit kali ya, oh mungkin karena ini karena fulll moon kali ya, oh mungkin karena ini itu, pokoknya saya selalu mengaitkan ini dengan astrologi dan orang lain,” kata dia. “Hal itu yang kiranya kurang dapat diterima teman-teman. Saya sering bertolak pendapat, dan saya disarankan ke ahli seperti psikolog dan psikiater.”

Ithong yang merasa belum sanggup menerima saran untuk berobat kejiwaan mengalami gejolak batin. Dia lebih memilih untuk datang kepada praktisi emotional healing yang membuka jasa konsutasil dengan mendegarkan cerita sang pasien. Namun hasilnya dirasa nihil.

Kondisi Ithong makin runyam. Bahkan untuk terpejam beristirahat di kala malam pun sulit. Ia lebih memilih terjaga, tak peduli berapa lama pun, dilakoninya. Banyak hal yang menurutnya menjadi penyebab imajinya berputar di kala malam, berseliweran dan membuatnya tak tenang.

“Bahkan ya, satu hari saya pernah mengatakan dalam hati saya, ‘Tuhan saya ingin tidur dan tidak terbangun lagi’,” ucapnya. Bukan lantaran pasrah, tapi kala itu ia lelah dan tergoda untuk menyerah,

Awal Terdiagnosa Bipolar

Ilustrasi Bipolar Disorder
ilustrasi bipolar disorder (sumber: unsplash)

Ithong yang merana dan merasa sebatang kara di Bali memutuskan untuk pulang ke kampung halamannya di Yogyakarta. Kala itu saat momentum Hari Raya. Dia juga memutuskan mau berobat ke ahli jiwa setelah sebelumnya terus menyangkal bahwa dirinya baik-baik saja. PokerOnline

“Saya pulang dan hanya membawa satu tas, saya mulai pengobatan di Yogya, saya tes MMPI (Minnesota Multiphasic Personality Inventory) agar tahu kena gangguan jiwa bagian mana, itu 2018,” tutur dia.

Hasil tes MMPI akhirnya menguak, secara klinis,ada yang tidak stabil dalam jiwanya. Bipolar menjadi salah satu gangguan jiwa diidapnya selama ini.

“Saya punya kecendrungan yang meledak, kalau tipikal mellow melankolis itu sudah dari dulu banget saat saya runut, sebenarnya polanya sama tapi terlihat wajar biasa saja,” tutur dia.

Setelah itu Ithong pun akhirnya mengonsumsi obat-obatan yang dapat mengontrol emosinya. Rutinitas medis dan konsultasi dengan dokter ahli diakui Ithong semakin membuat hidupnya tenang.

“Rasanya hidup saya lebih stabil ketika minum obat dan itu beda jauh saat minum dan tidak,” jelas dia. Kisah Penyintas Melawan Belenggu Bipolar yang Membunuh

Dirundung Stigma Negatif

Perjuangan Ithong demi menstabilkan kejiwaan diakui tidak mudah. Selain merogoh kocek, pergolakan sosial pun terjadi. Dia mengakui, bahwa stigma negatif bagi para pengidap gangguan kejiwaan masih sangat kuat. Kesadaran lingkungan sekitar yang masih kurang malah membuatnya terasing.

Namun Ithong bersyukur, dukungan keluarga didapatnya secara penuh. Orangtua dan kakaknya terus merangkul. Mereka memahami, meski terlihat baik-baik saja, jiwa Ithong sejatinya bergolak. 

“Mereka support saya dengan kondisi apa pun, ini bagaimana mereka membangun support system dan relasi yang sehat,” tutur dia.

Walau berat, Ithong berharap kelak para penyintas seperti dirinya bisa mendapatkan tempat yang lebih ramah di tengah masyarakat, agar dapat terbangun dukungan yang dapat berkesinambungan.

“Sembuh lebih diartikan seperti stabil, bagaimana membangun support system, minum obat biar stabil. Gangguan jiwa menurut saya bukan penyakit yang dihilangkan tetapi bisa kembali. Jadi patokannya ya itu stabil,” harap Ithong.

Kemudian, dengan bergabung dengan komunitas yang kerap berbagi cerita dan saling merangkul, hal tersebut menjadi napas positif bagi para penyintas.

“Saya ada dan tergabung dalam Komunitas Sahitya, menurut saya bagus banget bisa terbuka dan menyadarkan stigma orang dengan gangguan jiwa itu punya harapan saat mendapat perawatan yang baik maka dapat beraktivitas seperti pada umumnya,” Ithong menandasi

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *