WWW.PINO22.INFO
Uncategorized

Membedah Mitos dan Fakta seputar Vaksinasi COVID-19

Membedah Mitos dan Fakta seputar Vaksinasi COVID-19 PINOQQ Lounge – Di Indonesia, sekarang vaksinasi memasuki tahap kedua. Indonesia sendiri memiliki target vaksinasi kurang lebih sebesar 170 juta jiwa.

Sayangnya, banyak beredar informasi yang salah atau kurang tepat seputar vaksin. Disinformasi dan hoax ini bisa menghambat kesuksesan vaksinasi COVID-19.

Kupas tuntas mitos dan fakta seputar vaksinasi COVID-19 di sini, yuk!

Bagaimana cara kerja vaksin di tubuh kita?

Sebelum beranjak lebih jauh, pertama-tama kita harus mengetahui cara vaksin bekerja. Riza menjelaskan bahwa vaksin bekerja dengan cara menginduksi atau melatih tubuh untuk menghasilkan antibodi.

Menurutnya, sistem imun ada banyak, tetapi salah satu yang berperan untuk mengenali virus adalah antibodi.

Riza menjadikan vaksin Sinovac sebagai gambaran. Komposisi vaksin Sinovac adalah virus yang sudah dimatikan, yang mana material genetik di dalamnya telah diambil dan dihancurkan.

“Vaksin akan mendorong tubuh menghasilkan antibodi. Setelah disuntik vaksin dua kali, sistem imun akan menghasilkan antibodi dengan titer (kekuatan) yang baik, kira-kira setelah satu bulan,” Riza menjelaskan.

Pada intinya, vaksin adalah untuk melatih tubuh mengenali virus. Jadi, jika terinfeksi virus, tubuh sudah memiliki mekanisme untuk melawannya. Selain itu, berdasarkan hasil penelitian, vaksin bisa meminimalkan dari sakit parah.

BACA JUGA : Manfaat Kesehatan Tidur tanpa Celana Dalam untuk Pria

Berapa lama antibodi bertahan setelah divaksinasi?

Membedah Mitos dan Fakta seputar Vaksinasi COVID-19

Apakah benar demikian? Riza mengutip sebuah penelitian yang menyatakan bahwa antibodi alami terhadap COVID-19 hanya bertahan 3-9 bulan.

Bagaimana dengan antibodi yang terkait vaksin?

Perlu menunggu sekitar 3-6 bulan untuk mengetahui berapa lama antibodi bertahan.

Sementara, menurut dr. Ninggar, yang tak kalah penting dari antibodi adalah sel memori. Meski suatu saat antibodi habis atau tak terdeteksi, belum tentu sel memori itu hilang.

“Ketika sel memori atau yang (bertugas) mengingat virus itu masih ada, kalau ada virus yang masuk, ia akan mengenali dan langsung bikin antibodinya. Jadi antibodi akan naik kalau ada paparan lagi. Itu kalau kita masih punya sel memori,” dr. Ninggar menerangkan.

Berdasarkan penelitian, untuk infeksi alami, sel memori dapat bertahan hingga 8 bulan.

Apakah orang dengan komorbid bisa mendapat vaksinasi?

Membedah Mitos dan Fakta seputar Vaksinasi COVID-19

Padahal, sebenarnya boleh, asalkan komorbid tersebut terkontrol dan pengidapnya dalam kondisi stabil, ucap dr. Ninggar.

Namun, ia menegaskan bahwa harus lebih berhati-hati dalam menangani orang yang memiliki komorbid. Yang dikhawatirkan bukan efek samping, melainkan efektivitasnya.

Efektivitas vaksin bisa turun dan menyebabkan kegagalan vaksin.

“Meskipun ia memiliki komorbid, ia harus dalam kondisi yang stabil dan sedang terkontrol. Artinya, sistem imunnya berada di posisi paling baik. Ninggar.

Benarkah tidak ada efek samping berat pasca vaksinasi?

Kata dr. Ninggar, dalam beberapa menit hingga 30 menit setelah vaksinasi, reaksi alergi bisa muncul pada beberapa orang.

“Makanya itu setelah divaksin tidak boleh langsung pulang. Karena kalau terjadi alergi bisa langsung ditangani. Tiga puluh menit adalah waktu yang cukup cepat untuk mengawasi reaksi alergi pada orang-orang,” tuturnya.

Ini adalah reaksi yang cukup berat yang terjadi akibat tekanan psikis.

Kondisi ini rentan dialami oleh orang-orang dengan gangguan kecemasan atau kecenderungan takut dengan jarum suntik. Setelah divaksinasi, mereka mungkin akan mengalami gejala seperti mual, muntah, bahkan hingga pingsan dan kejang!

Apakah vaksin bisa mengatasi mutasi baru virus corona?

Menurut Riza, sampai detik ini, ada 859 varian SARS-CoV-2 di seluruh dunia. Dua di antaranya adalah varian asal Afrika Selatan dan varian B117 asal Inggris.

Apakah vaksin yang ada saat ini bisa mengatasi mutasi baru virus corona? Menurut dr. Ninggar, Jika ada mutasi, vaksin akan di-update supaya efektif melawan varian baru tersebut.

Sebagai seorang ilmuwan, Riza menegaskan bahwa semua varian SARS-CoV-2 tidak ada yang superpower. Masing-masing memiliki kelebihan dan kekurangan. Contohnya, B117 yang menyebar 54-70 persen lebih cepat, tetapi hanya mengubah protein spike sebanyak 5-6 persen.

Sementara itu, varian Afrika Selatan penyebarannya tidak secepat itu, tetapi mampu mengubah protein spike hampir 20 persen. Yang jelas, Riza mengatakan bahwa mutasi baru virus corona tidak membuat sakit lebih parah.

Bila sudah mendapat jadwal untuk vaksinasi, jangan menundanya.

BACA JUGA : Cara Tepat Mengatasi Konflik dengan Sahabat

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *